Kamis, 28 Januari 2010

Kepemimpinan Visioner

Dengan tidak bermaksud melecehkan negara dan bangsa sendiri dan tidak ada niatan menegasikan kinerja pemerintah Indonesia, kita harus mengakui bahwa kinerja Negara dan Bangsa Singapura jauh lebih baik daripada kinerja Negara dan Bangsa Indonesia. Kinerja antara keduanya seperti langit dan bumi.
Betapa tidak ditinjau dari kinerja apapun Singapura jauh lebih baik dari Indonesia, Dari produk domestik bruto, pendapatan perkapita, indeks pembangunan manusia, ranking perguruan tinggi Singapura jauh lebih unggul daripada Indonesia. Padahal potensi bangsa Indonesia jauh lebih besar dari bangsa Singapura, sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar dengan keanekaannya, serta tidak berkurangnya pasokan sumber daya manusia yang kreatif.
Lingkungan Singapura jauh lebih tertib, lebih tentram, lebih bersih daripada lingkungan Indonesia. Tentu saja, tingkat polusi lebih rendah di Singapura daripada Kota Bandung sekalipun.
Ketika penulis berjalan-jalan, lingkungan Singapura jauh lebih Islami daripada di Indonesia sendiri. Sunnah-sunnah Nabi jauh lebih hadir di lingkungan Singapura daripada Indonesia. Betapa tidak lingkungan di sepanjang pertokoan, perkantoran, dan perumahan terlihat bersih; toilet umum nyaman dan bersih, tidak terlihat orang merokok di sembarang tempat, kendaraan bermotor tidak saling serobot, bahkan kendaraan akan berhenti untuk memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang.
Realitas kemajuan Singapura selayaknya menjadi bahan pembelajaran bagi bangsa Indonesia, mengapa Kinerja Singapura jauh lebih baik daripada Indonesia dalam banyak bidang? Bukan mencari-cari alasan misalnya dengan menyatakan karena luas wilayah Singapura jauh lebih kecil dari wilayah Indonesia atau karena jumlah penduduk Singapura jauh lebih sedikit dari penduduk Indonesia. Alasan-alasan tersebut terbantahkan dengan sendirinya setelah Indonesia menganut rezim pemerintahan desentralisasi di mana kekuasaan mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakat berada di tangan pemerintah daerah—cakupan wilayah yang lebih kecil dan jumlah penduduk yang lebih sedikit.
Kinerja bangsa Singapura jauh lebih baik daripada kinerja bangsa Indonesia karena kepemimpinan nasional Singapura Visioner. Pemimpin Singapura memiliki visi kuat untuk membawa bangsa Singapura ke arah masyarakat yang diinginkan, yaitu masyarakat sejahtera secara ekonomi. Pemimpin Nasional Singapura mampu mensosialisasikan visi tersebut kepada setiap warga negara sehingga menjadi visi bersama dan meminta dukungan dan loyalitas setiap warga negara untuk mewujudkannya. Pemimpin nasional Singapura juga mampu merealisasikan visi yang telah dibuat menjadi kebijakan, strategi, dan program pembangunan dan pemerintahan yang jelas, tepat dan efisien.
Dalam merealisasikan visi, salah satunya pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan hukum sebagai social engenering (hukum untuk merekayasa interaksi dan perilaku masyarakat, interaksi masyarakat dengan lingkungannya, interaksi negara dengan warga negara, interaksi negara dengan pihak swasta). Misalnya untuk menjaga ambang batas polusi dan ketertiban berkendaraan, Pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan pembatasan kepemilikan kendaraan. Kebijakan ini dilakukan melalui strategi pembebanan fiscal tinggi terhadap pemilik kendaraan, pengenaan biaya bagi anggota masyarakat yang ingin memiliki kendaraan pribadi (surat ijin kepemilikan) untuk lima sekali, bunga kredit kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi, pembatasan tahun kendaraan.
Untuk melaksanakan kebijakan dan strategi di atas, Pemerintah Singapura mengeluarkan beberapa program seperti program angkutan publik (umum) yang cepat, nyaman, aman, dan murah. Tak kalah pentingnya adalah program penegakan disiplin dalam berlalu lintas sehingga bagi pelanggar lalu lintas dikenakan sanksi yang tegas (masuk penjara atau denda) yang membuat kapok pelanggar mengulanginya lagi.
Semua rekayasa sosial dilakukan dengan memberikan kejelasan hukum (rule of the game) dan penegakan hukum (rule of the law) kepada siapapun. Artinya hukumnya jelas tidak mengandung ambivalensi dan siapapun yang melanggar hukum akan ditindak dengan tegas. Misalnya siapapun yang membuang sampah atau puntung rokok sembarangan maka akan diberi sanksi denda 200 dollar Singapura atau kurungan 3 bulan penjara. Bahkan dapat dikatakan salah satu kunci keberhasilan Singapura dalam banyak bidang tadi adalah kejelasan hukum serta penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif.
Pemimpin Pemerintah Singapura juga memiliki visi yang kuat bagaimana pengelolaan tata ruang di wilayah teritorialnya. Pengelolaan tata ruang ini harus dilakukan karena keterbatasan ruang dan sumber daya alam yang dimiliki Singapura. Karena itu Singapura tidak memperkenalkan kepemilikan tanah dan gedung pribadi dalam hukum agrarianya, tetapi setiap warga negara dan penduduk hanya diberikan hak pakai dalam jangka waktu tertentu. Rekayasa hukum kepemilikan tanah semacam ini memudahkan pemerintah Singapura menata ruang di wilayah teritorialnya.
Demikian juga Singapura memiliki SDM yang unggul dalam manajemen dan iptek, mampu memanfaatkan keunggulan manajemen dan iptek tersebut untuk menghasilkan produk dan pelayanan yang dibutuhkan untuk kepentingan pemerintah dan rakyat Singapura, dan bahkan dijual kepada bangsa lain. Para investor berbondong-bondong menginvestasikan modalnya di Singapura karena adanya jaminan keamanan dan konsistensi hukum sehingga kelancaran usaha terjamin, keuntungan pun mengalir ke kocek pengusaha. Bukankah itu terpenting bagi investor ada ekspektasi besar untuk mendapatkan keuntungan.
Pemimpin dan rakyat Singapura memiliki kesadaran akan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya lahan karena itu mereka memiliki mindset bagaimana bisa survival pada era hiperkompetisi . Kesadaran semacam ini mendorong pemimpin dan rakyat Singapura memiliki mindset mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan-kepentingan lain. Kasus kematian mahasiswa Indonesia, David, menjadi contohnya.Apakah Indonesia dapat memiliki kinerja seperti Singapura? Jawabannya terpulang kepada Pemimpin dan rakyat Indonesia dalam memaksimalkan peluang, mengatasi tantangan, serta memberdayakan kekuatan untuk menutupi kelemahan kita.

Guru Pengembang Kurikulum

Kurikulum baru biasanya dilanjutkan dengan program, kegiatan dan proyek baru. Kurikulum baru berarti memerlukan implementasi program mulai dari rapat kerja, rapat koordinasi, uji coba, pertemuan pemangku pendidikan, sosialisasi, seminar dan loka karya, pendidikan dan pelatihan serta pertemuan atau musyawarah guru.
Kurikulum baru dalam dunia pendidikan Indonesia adalah sesuatu yang lumrah. Mengapa harus diributkan dan direpotkan. Bukankah setiap pegawai dan unit kerja dituntut kreatif dan inovatif untuk menghasilkan hal-hal baru. Justru menjadi aneh manakala dalam suatu unit kerja tidak lahir dan hadir kreativitas dan inovasi baru, termasuk unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang bernama Pusat Kurikulum.
Sebelum likuidasi Pusat Kurikulum, biarkan mereka menjalankan tugasnya dengan terus menciptakan kreativitas dan inovasi baru dalam bidang kurikulum. Perubahan bagi mereka adalah suatu rutinitas. Adapun tugas selanjutnya untuk mengimplementasikan kreativitas dan inovasi baru itu dipikul oleh guru selaku pengembang kurikulum di lapangan.
Kesenjangan Kebijakan dan Implementasi
Keberhasilan implementasi kurikulum tergantung kepada guru. Ditangan guru, suatu kurikulum dikembangkan menjadi sistem pembelajaran di kelas. Sepantasnyalah jika pembuatan kurikulum diserahkan kepada para guru.
Karena itu Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)—yang menekankan pembuatan dan pengembangan kurikulum pada guru di tingkat satuan pendidikan—sudah tepat. Di samping itu KTSP juga sejalan dengan kebijakan otonomi pendidikan.
Meskipun otonomi pendidikan telah diberikan, akan tetapi menurut undang-undang pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menentukan standarisasi mutu, termasuk standarisasi mutu pendidikan dan mutu lulusan. Dengan demikian, pemerintah pusat (Depdiknas) memiliki legitimasi untuk mengadakan ujian nasional.
Oleh karena itu kebijakan Depdiknas tentang KTSP dan Ujian Nasional sudah berada pada rel yang tepat sejalan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang menjalankan desentralisasi. Sayangnya, pemerintah belum melakukan upaya-upaya optimal untuk mendukung keberhasilan dua kebijakan itu. Misalnya pemerataan guru yang kompeten serta penyediaan sarana dan prasarana belajar yang merata untuk seluruh sekolah di Indonesia.
Tindakan pemerintah yang meningkatkan mutu pendidikan dan mutu lulusan dengan mengadakan ujian nasional dan KTSP menimbulkan anggapan bahwa pemerintah bertindak sebagai pedagang atau tengkulak. Bermodalkan dua kebijakan itu, pemerintah pusat hanya menginginkan hasil bersih-tahu beres bahwa kualitas pendidikan dan lulusan Indonesia meningkat. Pemerintah pusat menafikkan keberagaman potensi dan kesenjangan pemangku pendidikan di Indonesia.
Strategi
Kontrovesi perlu tidaknya perubahan kurikulum dan ujian nasional akan terus diperdebatkan. Proses belajar mengajar di kelas pun harus terus berjalan. Dalam menghadapi kondisi ini, guru tidak usah repot dan pusing.
Ada 3 (tiga) strategi yang dapat dilakukan guru untuk menghadapi kebijakan KTSP dan ujian nasional. Pertama, guru bagaimanapun tetap harus mengembangkan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, guru diharapkan mengamalkan peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Para guru bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat dan mengembangkan kurikulum.
Kerja sama ini tidak akan sulit dilakukan karena pihak-pihak terkait tinggal merevitaslisasi forum-forum kerja sama seperti Musyawarah Guru Bidang Studi atau Mata Pelajaran (MGBS/MGMP). Dinas Pendidikan kabupaten / kota diharapkan dapat memfasilitasi dan membiayai MGBS/ MGMP untuk membuat kurikulum.
Kedua, proses belajar mengajar di kelas tetap diselaraskan dengan kompetensi dan irama guru; sarana dan prasarana belajar; serta kebutuhan dan potensi peserta didik. Guru tidak terlalu “ngoyo” (memaksakan diri) untuk mengejar target kurikulum atau materi sesuai dengan ujian nasional. Untuk mengantisipasi ujian nasional, guru bisa mengandalkan mekanisme pembelajaran lain seperti pengayaan (pelajaran tambahan) atau bimbingan belajar.
Ketiga, pembuatan dan pengembangan kurikulum disesuaikan dengan materi ujian nasional. Manakala terdapat sejumlah peserta didik belum dapat mengikuti materi sesuai dengan kurikulum maka kepada mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran tambahan atau bimbingan. Strategi ketiga ini hanya untuk bidang studi dan mata pelajaran yang dievaluasi melalui ujian nasional; sedangkan kurikulum lainnya bisa dikembangkan guru untuk keterampilan hidup.
Ketiga strategi di atas membutuhkan guru-guru yang kreatif, inovatif, kompeten, bekerja keras. Tanpa hadirnya guru-guru seperti itu, kebijakan Departemen Pendidikan Nasional apapun kurang memiliki signifikansi dengan peningkatan mutu pendidikan dan lulusan lembaga pendidikan di Indonesia. Akadun.

Manajemen Kehutanan

Jika ada pihak yang mengecap bangsa Indonesia—khususnya pejabatnya—bebal tidaklah salah. Demikian juga apibila ada pihak yang mengatakan bangsa Indonesia keledai adalah lumrah.
Betapa tidak, bangsa Indonesia berulang kali tersandung masalah yang hampir sama setiap tahunnya, kebakaran hutan, langit berasap, impor beras, korupsi, kekeringan, dan sebentar lagi banjir dan longsor. Kontrak karya dengan pihak kapitalis yang mempecundangi Indonesia merugikan bangsa dan lingkungan Indonesia.
Pemerintah kurang memiliki konsep dan alternatif pemecahan masalah tersebut, termasuk penanganan kebakaran hutan. Ironisnya, masalah kebakaran hutan merupakan hal-hal riil, masih dalam kendali manusia.
Meskipun sudah dilaksanakan otonomi daerah, kewenangan untuk mengurus masalah kehutanan ternyata masih berada ditangan pemerintah pusat (c.q Departemen Kehutanan). Bisa jadi ketidakkonsistenan pemerintah pusat dalam menyerahkan urusan kehutanan ini menjadi salah satu pemicu mismanajemen dan pengendalian hutan.
Terlepas dari siapa pengurus masalah kehutanan, ke depan setidak-tidaknya pemerintah memiliki manajemen kehutanan di Indonesia. Perencanaan pengelolaan kehutanan dimulai dengan pendataan luas hutan yang berada di suatu kabupaten/ kota seluruh Indonesia, jenis hutan, siapa pemilik atau pengelolanya.
Data ini harus upgrade terus-menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan lapangan dalam satu database kehutanan Indonesia. Selanjutnya dibuat pemetaan sehingga mudah pengendalian dan pengawasannnya.
Kedua, pengorganisasian pengendali hutan. Di sini perlu dipikirkan secara cermat apakah pengelolaan hutan diserahkan ke daerah atau ditarik ke pusat. Tidak lucu, kalau perizinan usaha kehutanan masih ditangan pusat tetapi pertanggungjawaban pengendalian dan pengawasan dibebankan kepada pejabat daerah.
Tidaklah aneh jika hal ini terus berlangsung maka pejabat daerah tidak mau mengendalikan dan mengawasi hutan. Jika pengendalian dan pengawasan hutan tetap dilakukan pemerintah pusat, jelas hal itu tidak efektik karena rentang kendali terlalu luas. Di samping Departemen Kehutanan tidak lagi memiliki tangan-tangan di daerah untuk melakukan pengendalian dan pengawasan hutan.
Ke depan jika urusannya jelas diserahkan ke daerah maka pejabat-pejabat daerah bidang kehutanan inilah mempunyai kewenangan memeberikan izin usaha kehutanan, pengendalian dan pengawasan hutan. Dengan demikian secara jelas juga dpat ditentuan siapa yang dapat dimintai pertangungjawaban jika terjadi kebakaran hutan atau pengundulan hutan.
Ketiga, jika kewenangan pengurusan dan struktur organisasi pengendali hutan sudah jelas maka pejabat-pejabat yang telah diserahi tugas inilah yang memiliki kewajiban untuk mengendalikan dan mengawasi hutan menurut wilayah kerja dan kewenangannya masing-masing. Mereka inilah yang selayaknya memberikan izin usaha kehutanan, mengendalikan dan mengawasi hutan. Mereka inilah yang dimintai pertanggungjawaban jika sesuatu menimpa hutan di wilayah kerjanya.
Kempat, pengendalian dan pengawasan dilakukan oleh pejabat dilakukan oleh pejabat terendah sampai tertinggi secara berjenjang sesuai dengan struktur organisasi. Apabila terjadi kebakaran hutan di wilayah X maka dapat dengan mudah menentukan siapa yang bertangggung jawab. Pengusaha mana yang mengelola wilayah itu, siapa operator yang membakar hutan itu, pejabat mana yang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan tersebut?
Manakala sudah jelas teridentifikasi pengusaha, operator pembakar, dan pejabat yang bertanggung jawab maka berikan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Bukan pengusaha atau operator pembakar saja yang harus dijebloskan ke penjara melainkan juga pejabat yang bertanggung jawab di bidang kehutanan juga perlu mendapat sanksi setimpal atas kelalaiannya. Skenario yang sama juga diperlakukan jika terjadi kerusakan hutan atau pengundulan hutan.
Pemberian sanksi kepada pejabat kehutanan diharapkan dapat memberikan efek jera sehingga para pejabat dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya termasuk menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme. Manakala melaksanakan konsep sederhana di atas saja tidak bisa maka pejabat Indonesia memang benar-benar bebal. Pejabat Indonesia hanya bisa melemparkan tanggung jawab atau mencari kambing hitam atau akal bulus lainnya. Akadun.

Pendidikan Tanpa Hati Nurani

Kontrovesi pelaksanaan ujian nasional meredup seiring dengan munculnya permasalahan baru tentang maraknya berbagai pungutan sekolah pada saat daftar ulang siswa baru. Meskipun demikian tetaplah layak untuk menggugat pelaksanaan ujian nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan tingkat persekolahan. Apalagi tahun depan kebijakan ujian nasional ini akan diperluas tidak hanya meliputi SLTP dan SLTA saja tetapi juga SD.
Gugatan ini memiliki alasan kuat karena ujian nasional selalu meninggalkan catatan buruk terutama terjadinya kecurangan dalam pelaksanaannya. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan ujian nasional sebenarnya membuyarkan esensi ujian nasional itu sendiri.
Peserta didik di Jepang dan Singapura juga dihadapkan pada ujian nasional. Sekolah, guru, orang tua, dan peserta didik bahu-membahu bekerja keras mempersiapkan agar peserta didik lulus ujian nasional. Oleh karena itu ujian nasional di negara-negara tersebut mampu melecut peserta didik untuk bekerja keras. Bahwa untuk mencapai hasil terbaik harus melalui perjuangan yang keras dan panjang. Pencapaian hasil bukanlah merupakan hal yang instan.
Ujian nasional juga membuat kompetisi di antara peserta didik, guru, dan sekolah. Karena itu esensi dari ujian nasional membiasakan agar peserta didik berkompetisi dalam mendapatan sesuatu. Tujuan akhirnya adalah membuat masyarakat kompetitif sehingga menjadi bangsa yang kompetitif. Jepang dan Singapura telah mencapai esensi ini dengan menjadi bangsa yang kompetitif di Asia bahkan dunia.
Melalui ujian nasional juga diharapkan terjadinya peningkatan mutu sekolah dan prestasi peserta didik baik untuk daerah perkotaan maupun di luar daerah perkotaan. Setiap sekolah maupun peserta didik berlomba-lomba untuk mencapai standar mutu tertentu. Diharapkan ke depan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mengutamakan mutu. Esensi dan tujuan ujian nasional tersebut memoros kepada keinginan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul.
Memang ujian nasional bukan satu-satunya mekanisme untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Namun demikian, Jepang dan Singapura telah merasakan manfaatnya sehingga menjadi bangsa yang unggul karena masyarakatnya mengutamakan kerja keras, kompetitif, dan mengutamakan budaya unggul. Di Indonesia ternyata ujian nasional tidak menghasilkan kerja keras, budaya kompetitif, budaya mutu, dan keunggulan tetapi menghasilkan ketidakjujuran, mentalitas menerabas, dan kemalasan.
Serangan Fajar
Pengakuan anak saya bahwa teman-temannya yang sekolah di tempat lain berbuat jurang menyangsikan penulis akan manfaat ujian nasional. Kecurangan itu tidak dilakukan karena kenakalan anak-anak tetapi akibat tindakan kriminal para guru.
Banyak modus operandi yang digunakan untuk melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Salah satunya melakukan “serangan fajar”. Anak-anak peserta ujian dikumpulkan oleh pihak sekolah (sekitar pukul 06.00), lantas guru bidang studi yang diujikan memberikan kunci jawaban terhadap bidang studi yang akan diujikan pada pukul 08.00. Tindakan oknum guru tersebut jelas merupakan upaya mengharumkan nama sekolah meskipun menggunakan cara-cara tak jujur dan tak tahu malu.
Kalau praktek kecurangan tersebut terus dibiarkan—dan kebijakan ujian nasional tetap diimplementasikan maka virus tak tahu malu dan tak jujur akan menular ke guru-guru sekolah lain. Manakala informasi bahwa guru-guru di sekolah lain selalu dan atau sering membocorkan soal-soal ujian nasional—bahkan perilaku membocorkan soal ini tidak hanya pada saat ujian nasional saja tetapi even-even ujian lain seperti ujian bersama—maka dapat menimbulkan budaya malas.
Karena ada keyakinan, tanpa belajar dan bekerja keras pun pasti akan lulus. Guru mereka akan membantu membocorkan soal-soal ujian. Apabila virus ini menyebar ke sekolah lain maka esensi dan tujuan ujian nasional untuk membuat bangsa yang mau bekerja keras, kompetitif, dan mengutamakan mutu serta unggul hanya isapan jempol belaka.
Implikasinya pendidikan bukannya menghasilkan budaya kerja keras, mengutamakan mutu, kompetitif, dan unggul. Pendidikan berlangsung tanpa hati nurani yang hanya menghasilkan orang-orang tak tahu malu, tidak jujur, dan mentalitas menerabas. Padahal Indonesia untuk keluar dari kubangan krisis berkepanjangan sekarang ini sangat membutuhkan manusia-manusia yang memiliki hati nurani, mau bekerja keras, kompetitif, mengutamakan mutu dan budaya unggul.
Lantas apakah dengan realias lapangan bahwa ujian nasional yang mendorong dunia pendidikan menghasilkan manusia yang tak tahu malu, tidak jujur, mentalitas menerabas serta tanpa hati nurani tersebut layak dipertahankan. Jawabannya terhadap pertanyaan ini tentu berpulang kepada kebijakan dan kebijaksanaan pejabat Departemen Pendidikan Nasional apakah akan tetap mendorong pendidikan tanpa hati nurani dengan tetap melaksanakan ujian nasional atau tidak. Akadun

Amanah Kepemimpinan dan Kepemimpinan Amanah

Tugas manusia di dunia adalah mengabdi kepada Allah dan menjadi khalifah (pemimpin) sehingga menjadi pemimpin merupakan suratan takdir manusia. Namun demikian, tidak setiap orang dapat menjadi pemimpin puncak suatu organisasi. Karena itu persaingan tidak dapat terelakan dalam menuju kursi pemilihan kepemimpinan puncak tersebut termasuk dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Bangsa Indonesia tengah menghadapi pemilihan pemimpin bangsa, di mana secara definitif telah ditentukan pasangan calonnya, yaitu Susilo Bambang Yudoyono-Budiono, Jusuf Kalla-Wiranto, dan Megawati-Prabowo. Ketiga pasangan calon tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun demikian, rakyat harus memilih salah satu dari ketiga pasangan tersebut.
Sebagai panduan, rakyat hendaknya dapat memilih pasangan yang diprediksi mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan bangsa lima tahun mendatang, mampu memberikan suritauladan, mampu memotivasi rakyatnya untuk berprestasi, memegang amanah serta bermindset bahwa jabatan merupakan kerangka pengabdian kepada Allah swt. Persyaratan tersebut disebabkan masyarakat Indonesia dihadapkan pada krisis legitimasi dan motivasi.
Krisis Legitimasi dan Motivasi
Meminjam terminologi dari Jurgen Habermas (2004) dalam bukunya “Legimation Crisis”, krisis legitimasi adalah krisis kepercayaan di mana rakyat kehilangan kepercayaan kepada institusi publik. Kampanye dianggap sebagai suatu masa yang sah untuk mengobral janji. Para kandidat dengan entengnya mengumbar janji akan memberikan pendidikan dan kesehatan gratis, memberikan subsidi kepada para petani, memberikan kredit bunga rendah. Setelah menjadi presiden dan wakil presiden, janji tinggallah janji, pendidikan dan kesehatan tetap tidak terjangkau, harga barang melambung tinggi. Implikasinya rakyat kehilangan kepercayaan bukan saja kepada presiden dan wakil presiden melainkan juga kepada seluruh institusi publik.
Misalnya masyarakat kehilangan kepercayaan pada rumah sakit, puskesmas, dokter dalam menyembuhkan penyakitnya karena ketidakterjangkauan biaya, frustasi tidak segera mendapatkan kesembuhan atau kurangnya informasi tentang pemeliharaan dan pengobatan kepada masyarakat.
Krisis legitimasi ini mengindikasikan kegagalan institusi publik, profesional, dan ilmuwan dalam mentransformasikan iptek ke dalam masyarakat dan melakukan pencerahan kepada masyarakat sehingga membentuk knowledge based society. Bukan tidak mungkin pula, kegagalan tersebut menunjukkan kegagalan institusi publik dalam menemukan iptek (khususnya kesehatan) yang lebih murah, mudah, transparan, dan berguna dalam memecahkan permasalahan masyarakat. Karena dalam knowledge based society, menuntut organisasi dapat menghasilkan produk yang lebih murah, lebih cepat, lebih sederhana, dan lebih berguna kepada masyarakat atau pelanggan seperti diungkapkan oleh Tissen et. al (1998) dalam bukunya “Value-Based Knowledge Management”.
Krisis legitimasi terhadap institusi publik dipicu oleh krisis motivasi intitusi (terutama pejabatnya), profesional, dan ilmuwan di mana komitmen mereka terhadap pekerjaan produktif mulai meredup. Pejabat, profesional, dan ilmuwan kurang memiliki dorongan kuat atau kuasa lebih untuk menghasilkan produk atau pelayanan sesuai kuasa dan potensi yang dimilikinya. Pejabat, profesional, dan ilmuwan kurang memiliki motif berprestasi lebih tinggi, lebih baik sesuai potensi dan peluang yang didapatnya. Mereka lebih asyik dengan rutinitas pekerjaannya. Oleh karena itu Presiden dan Wakil Presiden lima tahun ke depan wajib memiliki kemampuan mereformasi institusi public untuk meningkatkan legitimasinya dan meningkatkan motif berprestasi sumber daya manusianya.
Model Kepemimpinan
Dalam diskursus administrasi dan manajemen telah muncul berbagai model kepemimpinan seperti kepemimpinan mutu, kepemimpinan yang memberdayakan, kepemimpinan visioner, kepemimpinan stratejik, kepemimpinan transfomatif, kepemimpinan air, kepemimpinan Pancasila. Model-model kepemimpinan ini disamping memiliki nilai informasi rendah, kurang teruji, dan segmentif, model-model tersebut juga belum berhasil menghilangkan kehausan masyarakat akan pemimpin panutan yang amanah.
Selayaknya komunitas muslim tidak perlu bingung memilih dan mengimplementasikan berbagai alternatif kepemimpinan tersebut. Komunitas muslim dapat mensuritauladani kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw sudah teruji dan terjaga dalam segala bidang kehidupan.
Ada sejumlah keunggulan dan keutamaan kepemimpinan Nabi Muhammad. Pertama, mensuritauladani kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. tidak hanya berdimensi duniawi tetapi juga berdimensi ukhrowi, tidak hanya hamblumminnas tetapi juga hamblumminnallah. Segala sikap dan perilaku Nabi Muhammad yang patut disuritauladani merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam. Karena itu mensuritauladani segala sikap dan perilaku Nabi Muhammad merupakan ibadah.
Kedua, kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. secara empiris terbukti membawa transformasi dari masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat beradab (civilized). Nabi Muhammad berhasil membangun tatanan masyarakat baru yang teratur dalam bidang pemerintahan, perekonomian, sosial budaya, pertahanan-keamanan dengan penghargaan tinggi kepada hak asasi, menjunjung tinggi persamaan dan nondiskriminasi.
Ketiga, kepemimpinan Nabi Muhammad bersifat kaffah, holistik, multidimensi. Hal ini diakibatkan Nabi Muhammad sudah melakoni berbagai peran sepanjang hidupnya mulai dari kepala rumah tangga, kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin umat (masyarakat) maupun panglima perang.
Keempat, Nabi Muhammad memiliki modal spiritual dan modal sosial yang tinggi dalam kepemimpinannya. Nabi Muhammad membangun nilai-nilai baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara—dengan pertimbangan, tuntutan dan bimbingan Allah swt serta mereferensi kepada Alqur’an. Nilai-nilai baru itu antara lain: amar makruf nahi mungkar, mencari keridlaan Allah, persamaan dan keadilan.
Nabi Muhammad sudah memiliki modal sosial jauh sebelum beliau menjadi Nabi. Al Amin merupakan gelar yang diberikan komunitas Arab sudah melekat jauh sebelum beliau menjadi rasul. Demikian juga beliau bersifat maksum, terhindar dan terpelihara dari cela, nista dan dosa.
Selain itu Nabi Muhammad juga memiliki sifat-sifat rasul. Pertama, Siddiq (benar dan baik) dalam perkataan maupun dalam perbuatan dan tingkah laku. Sikap dan perilaku nabi selalu dalam tuntunan Allah (asas dan hukum Allah). Kedua, amanah, terpercaya, dapat dipercaya dan selalu menepati janji. Dengan sifat ini maka pekerjaan dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Karena itu Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang akuntabel. Ketiga, tablig artinya menyampaikan, tidak mungkin menyembunyikan hal-hal yang diperintahkan kepadanya. Kepemimpinan Nabi Muhammad dilumuri transparansi sehingga dirasakan adil bagi semua umat. Keempat, fathonah artinya cerdas baik secara inteligensi, emosional maupun spiritual dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar karena akan melibatkan umat dalam setiap persoalan.
Korupsi Merupakan Kemungkaran
Korupsi telah menjadi musuh nomor satu bagi bangsa Indonesia. Korupsi merupakan “biang kerok” keterpurukan bangsa Indonesia. Karena itu korupsi selayaknya dianggap sebagai kemungkaran yang harus dilawan dan diberantas.
Good governance merupakan konsep yang diharapkan dapat mencegah dan memberantas korupsi. Konsep ini menghendaki agar pengelolaan sumber daya bangsa dilakukan secara lebih efektif-efisen, transparan, akuntabel, partisipatif, adil, taat asas dan taat hukum.
Sayangnya, success story pelaksanaan good governance menjadi barang langka bagi negara-negara berkembang. Dengan demikian, konsep ini menjadi belum teruji secara empiris membawa transformasi suatu tatanan masyarakat di dunia ini.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka diperlukan pemikiran alternatif untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Salah satu alternatif itu adalah mentasbihkan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan ibadah.
Selanjutnya para pemimpin dari berbagai kalangan baik militer, pemerintah, masyarakat, partai, bisnis melaksanakan kepemimpinannya dengan mensuritauladani sifat-sifat Nabi Muhammad. Pertama, pemimpin selayaknya mempraktekkan sifat siddiq dalam kehidupannya. Artinya para pemimpin harus dapat menjaga perkataan, sikap dan perilakunya— agar selalu benar, konsisten, obyektif, selaras dengan rasa keadilan termasuk menepati janji-janji kampanyenya.
Kedua, amanah yang berarti para pemimpin mampu menjaga kepercayaan yang telah diberikan Tuhan dan rakyat untuk menduduki jabatan-jabatan di negeri ini. Para pemimpin menepati janji kepada rakyat seperti yang telah diikrarkan sebelumnya. Para pemimpin melaksanakan komitmen yang telah dicanangkan sebelumnya seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, pemimpin menjalankan sifat tablig berarti para pemimpin menyampaikan segala sesuatu yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Pemimpin tidak boleh menunda-nunda atau menggelapkan sesuatu yang harusnya milik rakyat. Para pemimpin tidak menyembunyikan segala informasi untuk khalayak umum, termasuk penggunaan uang, tender proyek, dan keberhasilan maupun kegagalannya.
Keempat, fathonah berarti para pemimpin itu harus dipilih dari mereka yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga mempunyai kecerdasan emosional dan spiritual.
Sifat-sifat rasul ini jauh lebih teruji daripada konsep good governace. Sifat-sifat tersebut telah terbukti dapat merekonstruksi masyarakat menjadi jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Bukan saja pada era Nabi Muhammad, melainkan juga pada rasul-rasul sebelumnya. Karena itu jika bangsa Indonesia mau hijrah dari kemiskinan menuju kesejahteraan; dari kecemasan menuju kedamaian; dari kerusakan menuju kelestarian maka setiap pemimpinnya wajib mensuritauladani Nabi Muhammad saw yang telah berhasil mengemban amanah kepemimpinan di dunia ini dengan menjadi pemimpin amanah.

Akadun