Kamis, 28 Januari 2010

Pendidikan Tanpa Hati Nurani

Kontrovesi pelaksanaan ujian nasional meredup seiring dengan munculnya permasalahan baru tentang maraknya berbagai pungutan sekolah pada saat daftar ulang siswa baru. Meskipun demikian tetaplah layak untuk menggugat pelaksanaan ujian nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan tingkat persekolahan. Apalagi tahun depan kebijakan ujian nasional ini akan diperluas tidak hanya meliputi SLTP dan SLTA saja tetapi juga SD.
Gugatan ini memiliki alasan kuat karena ujian nasional selalu meninggalkan catatan buruk terutama terjadinya kecurangan dalam pelaksanaannya. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan ujian nasional sebenarnya membuyarkan esensi ujian nasional itu sendiri.
Peserta didik di Jepang dan Singapura juga dihadapkan pada ujian nasional. Sekolah, guru, orang tua, dan peserta didik bahu-membahu bekerja keras mempersiapkan agar peserta didik lulus ujian nasional. Oleh karena itu ujian nasional di negara-negara tersebut mampu melecut peserta didik untuk bekerja keras. Bahwa untuk mencapai hasil terbaik harus melalui perjuangan yang keras dan panjang. Pencapaian hasil bukanlah merupakan hal yang instan.
Ujian nasional juga membuat kompetisi di antara peserta didik, guru, dan sekolah. Karena itu esensi dari ujian nasional membiasakan agar peserta didik berkompetisi dalam mendapatan sesuatu. Tujuan akhirnya adalah membuat masyarakat kompetitif sehingga menjadi bangsa yang kompetitif. Jepang dan Singapura telah mencapai esensi ini dengan menjadi bangsa yang kompetitif di Asia bahkan dunia.
Melalui ujian nasional juga diharapkan terjadinya peningkatan mutu sekolah dan prestasi peserta didik baik untuk daerah perkotaan maupun di luar daerah perkotaan. Setiap sekolah maupun peserta didik berlomba-lomba untuk mencapai standar mutu tertentu. Diharapkan ke depan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mengutamakan mutu. Esensi dan tujuan ujian nasional tersebut memoros kepada keinginan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul.
Memang ujian nasional bukan satu-satunya mekanisme untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Namun demikian, Jepang dan Singapura telah merasakan manfaatnya sehingga menjadi bangsa yang unggul karena masyarakatnya mengutamakan kerja keras, kompetitif, dan mengutamakan budaya unggul. Di Indonesia ternyata ujian nasional tidak menghasilkan kerja keras, budaya kompetitif, budaya mutu, dan keunggulan tetapi menghasilkan ketidakjujuran, mentalitas menerabas, dan kemalasan.
Serangan Fajar
Pengakuan anak saya bahwa teman-temannya yang sekolah di tempat lain berbuat jurang menyangsikan penulis akan manfaat ujian nasional. Kecurangan itu tidak dilakukan karena kenakalan anak-anak tetapi akibat tindakan kriminal para guru.
Banyak modus operandi yang digunakan untuk melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Salah satunya melakukan “serangan fajar”. Anak-anak peserta ujian dikumpulkan oleh pihak sekolah (sekitar pukul 06.00), lantas guru bidang studi yang diujikan memberikan kunci jawaban terhadap bidang studi yang akan diujikan pada pukul 08.00. Tindakan oknum guru tersebut jelas merupakan upaya mengharumkan nama sekolah meskipun menggunakan cara-cara tak jujur dan tak tahu malu.
Kalau praktek kecurangan tersebut terus dibiarkan—dan kebijakan ujian nasional tetap diimplementasikan maka virus tak tahu malu dan tak jujur akan menular ke guru-guru sekolah lain. Manakala informasi bahwa guru-guru di sekolah lain selalu dan atau sering membocorkan soal-soal ujian nasional—bahkan perilaku membocorkan soal ini tidak hanya pada saat ujian nasional saja tetapi even-even ujian lain seperti ujian bersama—maka dapat menimbulkan budaya malas.
Karena ada keyakinan, tanpa belajar dan bekerja keras pun pasti akan lulus. Guru mereka akan membantu membocorkan soal-soal ujian. Apabila virus ini menyebar ke sekolah lain maka esensi dan tujuan ujian nasional untuk membuat bangsa yang mau bekerja keras, kompetitif, dan mengutamakan mutu serta unggul hanya isapan jempol belaka.
Implikasinya pendidikan bukannya menghasilkan budaya kerja keras, mengutamakan mutu, kompetitif, dan unggul. Pendidikan berlangsung tanpa hati nurani yang hanya menghasilkan orang-orang tak tahu malu, tidak jujur, dan mentalitas menerabas. Padahal Indonesia untuk keluar dari kubangan krisis berkepanjangan sekarang ini sangat membutuhkan manusia-manusia yang memiliki hati nurani, mau bekerja keras, kompetitif, mengutamakan mutu dan budaya unggul.
Lantas apakah dengan realias lapangan bahwa ujian nasional yang mendorong dunia pendidikan menghasilkan manusia yang tak tahu malu, tidak jujur, mentalitas menerabas serta tanpa hati nurani tersebut layak dipertahankan. Jawabannya terhadap pertanyaan ini tentu berpulang kepada kebijakan dan kebijaksanaan pejabat Departemen Pendidikan Nasional apakah akan tetap mendorong pendidikan tanpa hati nurani dengan tetap melaksanakan ujian nasional atau tidak. Akadun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar