Kamis, 28 Januari 2010

Guru Pengembang Kurikulum

Kurikulum baru biasanya dilanjutkan dengan program, kegiatan dan proyek baru. Kurikulum baru berarti memerlukan implementasi program mulai dari rapat kerja, rapat koordinasi, uji coba, pertemuan pemangku pendidikan, sosialisasi, seminar dan loka karya, pendidikan dan pelatihan serta pertemuan atau musyawarah guru.
Kurikulum baru dalam dunia pendidikan Indonesia adalah sesuatu yang lumrah. Mengapa harus diributkan dan direpotkan. Bukankah setiap pegawai dan unit kerja dituntut kreatif dan inovatif untuk menghasilkan hal-hal baru. Justru menjadi aneh manakala dalam suatu unit kerja tidak lahir dan hadir kreativitas dan inovasi baru, termasuk unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang bernama Pusat Kurikulum.
Sebelum likuidasi Pusat Kurikulum, biarkan mereka menjalankan tugasnya dengan terus menciptakan kreativitas dan inovasi baru dalam bidang kurikulum. Perubahan bagi mereka adalah suatu rutinitas. Adapun tugas selanjutnya untuk mengimplementasikan kreativitas dan inovasi baru itu dipikul oleh guru selaku pengembang kurikulum di lapangan.
Kesenjangan Kebijakan dan Implementasi
Keberhasilan implementasi kurikulum tergantung kepada guru. Ditangan guru, suatu kurikulum dikembangkan menjadi sistem pembelajaran di kelas. Sepantasnyalah jika pembuatan kurikulum diserahkan kepada para guru.
Karena itu Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)—yang menekankan pembuatan dan pengembangan kurikulum pada guru di tingkat satuan pendidikan—sudah tepat. Di samping itu KTSP juga sejalan dengan kebijakan otonomi pendidikan.
Meskipun otonomi pendidikan telah diberikan, akan tetapi menurut undang-undang pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menentukan standarisasi mutu, termasuk standarisasi mutu pendidikan dan mutu lulusan. Dengan demikian, pemerintah pusat (Depdiknas) memiliki legitimasi untuk mengadakan ujian nasional.
Oleh karena itu kebijakan Depdiknas tentang KTSP dan Ujian Nasional sudah berada pada rel yang tepat sejalan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang menjalankan desentralisasi. Sayangnya, pemerintah belum melakukan upaya-upaya optimal untuk mendukung keberhasilan dua kebijakan itu. Misalnya pemerataan guru yang kompeten serta penyediaan sarana dan prasarana belajar yang merata untuk seluruh sekolah di Indonesia.
Tindakan pemerintah yang meningkatkan mutu pendidikan dan mutu lulusan dengan mengadakan ujian nasional dan KTSP menimbulkan anggapan bahwa pemerintah bertindak sebagai pedagang atau tengkulak. Bermodalkan dua kebijakan itu, pemerintah pusat hanya menginginkan hasil bersih-tahu beres bahwa kualitas pendidikan dan lulusan Indonesia meningkat. Pemerintah pusat menafikkan keberagaman potensi dan kesenjangan pemangku pendidikan di Indonesia.
Strategi
Kontrovesi perlu tidaknya perubahan kurikulum dan ujian nasional akan terus diperdebatkan. Proses belajar mengajar di kelas pun harus terus berjalan. Dalam menghadapi kondisi ini, guru tidak usah repot dan pusing.
Ada 3 (tiga) strategi yang dapat dilakukan guru untuk menghadapi kebijakan KTSP dan ujian nasional. Pertama, guru bagaimanapun tetap harus mengembangkan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, guru diharapkan mengamalkan peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Para guru bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat dan mengembangkan kurikulum.
Kerja sama ini tidak akan sulit dilakukan karena pihak-pihak terkait tinggal merevitaslisasi forum-forum kerja sama seperti Musyawarah Guru Bidang Studi atau Mata Pelajaran (MGBS/MGMP). Dinas Pendidikan kabupaten / kota diharapkan dapat memfasilitasi dan membiayai MGBS/ MGMP untuk membuat kurikulum.
Kedua, proses belajar mengajar di kelas tetap diselaraskan dengan kompetensi dan irama guru; sarana dan prasarana belajar; serta kebutuhan dan potensi peserta didik. Guru tidak terlalu “ngoyo” (memaksakan diri) untuk mengejar target kurikulum atau materi sesuai dengan ujian nasional. Untuk mengantisipasi ujian nasional, guru bisa mengandalkan mekanisme pembelajaran lain seperti pengayaan (pelajaran tambahan) atau bimbingan belajar.
Ketiga, pembuatan dan pengembangan kurikulum disesuaikan dengan materi ujian nasional. Manakala terdapat sejumlah peserta didik belum dapat mengikuti materi sesuai dengan kurikulum maka kepada mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran tambahan atau bimbingan. Strategi ketiga ini hanya untuk bidang studi dan mata pelajaran yang dievaluasi melalui ujian nasional; sedangkan kurikulum lainnya bisa dikembangkan guru untuk keterampilan hidup.
Ketiga strategi di atas membutuhkan guru-guru yang kreatif, inovatif, kompeten, bekerja keras. Tanpa hadirnya guru-guru seperti itu, kebijakan Departemen Pendidikan Nasional apapun kurang memiliki signifikansi dengan peningkatan mutu pendidikan dan lulusan lembaga pendidikan di Indonesia. Akadun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar